Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar
baht Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para
investor asing mengambil keputusan ‘jual’ karena mereka para investor asing
tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak
untuk jangka pendek. Pemerintah Thailand meminta bantuan IMF. Pengumuman itu mendepresiasikan nilai baht sekitar 15%
hingga 20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 baht per dolar AS.
Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merebet ke
Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya. Rupiah Indonesia mulai merendah sekitar
pada bulan Juli 1997, dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.950 per dolar AS. Nilai rupiah
dalam dolar mulai tertekan terus dan pada tanggal 13 Agustus 1997 rupiah
mencapai rekor terendah, yakni Rp 2.682 per dolar AS sebelum akhirnya ditutup
Rp 2.655 per dolar AS. Pada tahun 1998, antara bulan Januari-Februari sempat
menembus Rp 11.000 per dolar AS dan pada bulan Maret nilai rupiah mencapai Rp
10.550 untuk satu dolar AS.
Nilai tukar rupiah terus melemah, pemerintah Orde Baru
mengambil beberapa langkah konkret, antaranya menunda proyek-proyek senilai Rp
39 Triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja. Pada tanggal
8 Oktober 1997, pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan
meminta bantuan keuangan dari IMF.
Pada Oktober 1997, lembaga keuangan internasional itu
mengumumkan paket bantuan keuangan pada Indonesia yang mencapai 40 miliar dolar
AS. Pemerintah juga mengumumkan pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang
dinilai tidak sehat sehinnga hal itu menjadi awal dari kehancuran perekonomian
Indonesia.
Krisis rupiah yang akhirnya menjelma menjadi krisis
ekonomi memunculkan suatu krisis politik. Pada awalnya, pemerintahan yang
dipimpin Presiden Soeharto akhirnya digantikan oleh wakilnya, yakni B.J.
Habibie. Walaupun, Soeharto sudah turun dari jabatannya tetap saja tidak
terjadi perubahan-perubahan nyata karena masih adanya korupsi,kolusi dan
nepotisme (KKN) sehingga pada masa Presiden Habibie masyarakat menyebutnya
pemerintahan transisi.
Keadaan sistem
ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan transisi memiliki karakteristik
sebagai berikut:
· Kegoncangan terhadap rupiah terjadi
pada pertengahan 1997, pada saat itu dari Rp 2500
menjadi Rp 2650 per dollar AS. Sejak masa itu keadaan rupiah menjadi tidak
stabil.
· Krisis rupiah akhirnya menjadi
semakin parah dan menjadi krisis ekonomi
yang kemudian memunculkan krisis politik terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
· Pada awal pemerintahan yang
dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan reformasi. Namun, ternyata
pemerintahan baru ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, sehingga kalangan
masyarakat lebih suka menyebutnya sebagai masa transisi karena KKN semakin
menjadi, banyak kerusuhan.
Tujuan Ekonomi Pada Masa Transisi
Kebijakan ekonomi tentunya mengacu pada tindakan sebuah kebijakan
pemerintah dalam mengambil kebijakan atau keputusan di bidang ekonomi,
kebijakan ini dapat pula mencakup di dalamnya sistem untuk menetapkan sistem
perpajakan, suku bunga dan anggaran pemerintah serta pasar tenaga kerja,
kepemilikan nasional, dan otonomi daerah dari intervensi pemerintah ke dalam
perekonomian. Kebijakan ekonomi merupakan seperangkat perencanaan yang mengacu
pada tindakan, pernyataan, dan pengaturan yang dibuat oleh pemerintah dalam
mengambil keputusan di bidang ekonomi dan menyangkut kepentingan
umum. Semua kebijakan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah pasti memiliki
tujuannya masing-masing, diantaranya:
1. Untuk mengontrol lajunya pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan,
2. Untuk meningkatkan kenaikan standar hidup
rata-rata, dan
3. Inflasi rendah.
Terkadang kebijakan semacam ini sering dipengaruh juga oleh lembaga-lembaga
internasional seperti International Monetary Fund atau Bank Dunia serta
keyakinan politik dari pihak-pihak yang memegang kekuasaan Negara saat itu.